Minggu, 03 April 2011

PENDIDIKAN JANGAN SAMPAI MENJADI ASPEK KEMISKINAN STRUKTURAL


Sepenggal Keresahan Hati
Fakta tentang ketimpangan ekonomi masyarakat Indonesia masih menjadi wacana klasik yang belum menemukan jawaban. Data serta fakta angka-angka mengenai hal ini telah banyak didengar dan kita baca di koran maupun ditulisan-tulisan yang menyuarakan keadilan sosial serta ekonomi. Kemiskinan yang melanda republik ini bukan lagi menjadi kemiskinan kultural, tetapi sudah masuk pada ranah kemiskinan struktural, yakni kemiskinan kultural disebabkan oleh faktor internal dari individu-individu yang malas, tidak produktif dsb. Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang ditopang oleh struktur masyarakat yang merugikan kelas tertentu dan menguntungkan kelas yang lainnya. 

PENDIDIKAN HARI INI
Menurut saya pendidikan hari ini belum bisa berbuat apa-apa, justru pendidikan sebagai perusak kecerdasan bangsa. Hal ini terjadi karena sekarang pendidikan mulai meninggalkan logika-logika sosial dan mulai memakai seperangkat logika-logika komodifikasi (adalah suatu bentuk transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil). Otomatis logika ini akan menggeser fungsi sosial pendidikan dan menjadi suatu komoditas ekonomi. Indikatornya adalah para penyelenggara pendidikan sering memakai logika pasar yaitu argumentasi tentang mahalnya biaya pendidikan (terutama pendidikan tinggi) karena faktor inflasi. SPP naik karena laju inflasi yang meningkat di tataran makro ekonomi (Makroekonomi menjelaskan perubahan ekonomi yang memengaruhi banyak rumah tangga (household), perusahaan, dan pasar serta kebijaksanaan seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, tenaga kerja, dll).

Pada pembukaan UUD 1945 telah dijelaskan bahwa  sektor pendidikan adalah sektor rakyat yang murni punya fungsi sosial, tidak tertunggangi oleh fungsi-fungsi yang lain, apalagi fungsi akumulasi kapital. Dalam argumentasi ini, inflasi dijadikan ”kambing hitam” mahalnya biaya pendidikan. Fakta ini menjadi momok besar bagi anak di negeri ini, karena dapat merasakan kuliah di perguruan tinggi merupakan cita-cita seluruh anak negeri. Sebelum negara melepaskan logika-logika komodifikasi pendidikan dan mengenakan kembali logika sosial dari pendidikan, saya rasa pendidikan murah dan berkualitas belum bisa terselenggara di republik ini. Dan akan semakin banyak pemuda-pemudi yang ketinggalan kereta pendidikan yang pada gilirannya akan menambah jumlah pengangguran dan angka kemiskinan.
Data UNESCO tahun 2000, peringkat Indeks Pengembangan Manusia (IPM) Indonesia

1996
1997
1998
1999
2005
2007
2010






urutan ke-102
urutan 
ke-99
urutan ke-105
urutan ke-109
urutan ke-110
urutan ke-108
urutan ke-108





























Di antara 182 negara di dunia, (data.menkokesra.go.id)
Bisa dilihat dari data diatas, pendidikan di Indonesia belum bisa memberikan dampak yang signifikan untuk kecerdasan bangsa. Masih perlu kita dipertanyakan lagi keseriusan para pemegang wewenang di Negara ini, untuk kemajuan bangsa.

TANGGAPAN PEMERINTAH?
Beberapa kebijakan telah ditetapkan oleh pemerintah, namun sampai sekarang semua perangkat-perangkat kebijakan diatas belum mampu menjawab ketakutan kita bersama, bahwa pendidikan berubah wujud dari wahana pembebasan menjadi aspek yang kan mengabadikan kemiskinan struktural. Penambahan prosentase subsidi pendidikan dan penambahan dana pendidikan lewat kompensasi kenaikan BBM mungkin mejadi secercah harapan bagi dunia pendidikan. Data kenaikan prosentase subsidi pendidikan dari APBN menyebutkan pada tahun 2004 sebesar 6,60%; tahun 2005 sebesar 9,31%; tahun 2006 sebesar 12,01%; tahun 2007 sebesar 14,68%; tahun 2008 sebesar 17,40%; tahun 2009 sebesar 20,10% (Jawa Pos, 21/07/2005). Bila penambahan subsidi oleh negara ini tidak disertai dengan peningkatan kualitas pendidikan dan perluasan akses pendidikan (biayanya murah), atau justru pendidikan semakin tidak terjangkau, maka kita wajib menggugat dan meminta pertanggung jawaban secara langsung para penyelenggara Pendidikan Tinggi negara ini.

BAGAIMANA DENGAN ITS?
Kondisi yang sama jelas kita lihat di kampus yang kita cintai ini. Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dari tahun ke tahun terus naik. Hal ini secara tidak langsung akan menjadi beban mental dan finansial bagi mereka yang ingin mengenyam pendidikan di kampus ini. Berikut adalah paparan data kenaikan SPP ITS berdasarkan hasil googling saya :

2002/2003
2003/2004
2004/2005
2007/2008
2010/2011
2011/2012
600.000,00
750.000,00
1.000.000,00
1.250.000,00
1.500.000,00
1.800.000,00










Melihat kenaikan tariff SPP yang makin membludak, masihkah kondisi ini sesuai dengan tujuan ITS sebagai lembaga pendidikan tinggi bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa? Bagaimana tujuan itu akan termaksimalkan, untuk kuliah saja harus berfikir berulang-ulang karena butuh biaya yang mahal untuk menuntut ilmu. Dilihat dari 9 tahun terakhir data di atas pantaslah timbul pertanyaan bagaimanakah keadaan kampus ini di masa yang akan datang? Akankah sia-sia usaha dan perjuangan para pendahulu kita untuk mencerdaskan republik ini? Perjuangan Dr. Angka untuk menegrikan kampus ini akan sia-sia? Apakah nantinya para pihak penguasa akan menswastakan kampus ini? Kita tidak bisa menjawabnya saat ini, namun yang harus dilakukan sekarang adalah berusaha untuk bagaimana pendidikan di negeri ini menggunakan logika-logika sosial untuk keselarasan dan keadilan agar tercapainya cita-cita bangsa ini.

SELAMAKAN PENDIDIKAN UNTUK ANAK NEGERI !
Merupakan tugas dari mahasiswa yang dianggap sebagai kaum berpikir bagaimana masyarakat harus bisa menikmati pendidikan :
1.     Menolak semua bentuk kebijakan negara yang akan mengkomersialisasikan pendidikan.
2.    Menuntut Rektorat untuk segera memperluas program-program berbeasiswa untuk mahasiswa yang tidak mampu, meningkatkan kualitas pendidikan, dan menurunkan SPP.
3.    Menggalang kekuatan massa mahasiswa sebagai kekuatan pokok kampus untuk terus-menerus menuntut Rektorat sebagai perwakilan negara terdekat untuk menyelenggarakan pendidikan murah dan berkualitas.
4.     Berdoa dan terus bergerak untuk menuntut perubahan. Amin

Bisikan untuk para penggawa pendidikan… Pertama, menata ulang konsep pendidikan yang berarti bahwa pendidikan benar-benar diarahkan pada tujuan sebagaimananya, membangkitkan kesadaran kritis dan transformatif untuk mengubah nasib bangsa yang sedang terpuruk menuju kebangkitan, memiliki hak sama baik untuk dihormati, dihargai maupun beraktualisasi diri. Kedua, meletakkan kembali pilar pendidikan yang humanis, melaksanakan politik pendidikan yang memberdayakan, kurikulum yang mencerdaskan, pendidik yang memanusiakan anak didik dan praksis pendidikan yang dialogis. Ketiga, reorientasi tujuan pendidikan nasional yaitu menuju bangsa yang berkualitas, mandiri, beradab dan berdaya saing tinggi. Akan menjadi pertanyaan, akankah para penguasa melakukan hal-hal tersebut sebagai upaya untuk menyelamatkan pendidikan saat ini. Berharap…

Arr : Benny Oksatriandhi - Planologi ITS
Komunitas Pemuda Sepuluh Nopember (KOMPAS)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

memang saat ini para pejabat negara ini banyak yang tidak memikirkan sampai ke arah situ, padahal masih banyak ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di negara ini. kapan Indonesia akan maju, sedangkan pendidikan saja masih dikomersialisasikan. Dengarkan ini wahai para penguasa!!